Lurik merupakan kain tradisional yang berasal dari Pulau Jawa. Kata “Lurik” diambil dari Bahasa Jawa yaitu “lorek” yang berarti garis-garis dan merupakan lambang kesederhanaan. Pada zaman dahulu lurik dipakai bukan hanya dikalangan masyarakat pedesaan menengah ke bawah tetapi juga dipakai oleh kalangan bangsawan dan Keraton. Lurik tidak hanya berbentuk selendang saja tetapi bisa juga berbentuk baju. Di Jawa Tengah khususnya di Kota Klaten ada sebuah kampung lurik yang dimana rumah produksi lurik di kampung itu bekerja sama dengan masyarakatnya untuk melestarikan lurik sekaligus menjadi sumber ekonomi masyarakatnya. Desa ini disebut dengan Desa Kedulan
Desa Kedulan yang terletak di Kota Klaten, Jawa Tengah ini merupakan desa penghasil lurik, desa ini dijuluki sebagai kampung lurik karena sebagian besar masyarakat yang tinggal di desa ini sehari hari bekerja sebagai penenun kain lurik. Masyarakat Desa Kedulan sudah mulai bekerja sebagai penenun kain lurik sejak tahun 1974, di Desa Kedulan ini ada sebuah rumah produksi yaitu “PT. Tarno Tex”, rumah produksi ini bagaikan akar dari masyarakat Desa Kedulan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk menghasilkan 1 buah kain lurik tenun sangat membutuhkan waktu yang cukup lama pada proses pembuatannya. Proses pembuatan yang pertama yaitu perebusan lawe. Lawe di kanji terlebih dahulu agar keras, setelah itu direbus dan langkah terakhir yaitu di jemur. Pak Pardi (62 tahun), Seorang warga desa seberang yaitu Desa Karang yang bekerja merebus dan menjemur lawe. Beliau menjadikan pekerjaan perebus dan penjemur lawe sebagai tambahan pemasukan sehari- hari, karena beliau juga bekerja sebagai buruh tani.
Proses kedua yaitu pengeklosan atau pembuatan lawe menjadi gumpalan benang untuk disekir. Proses ketiga dari pembuatan lurik yaitu penyekiran, gumpalan benang yang tadi diklos di susun di tempat yang terbuat dari kayu.Mbah Parman (74 tahun) seorang warga masyarakat Desa Kedulan, beliau menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai penyekir di rumah produksi “Tarno Tex”. Benang yang telah disekir beliau dan menjadi bom, akan diĀ disalurkan kepada warga-warga yang menenun.
Proses terakhir dari pembuatan kain lurik ini adalah dengan di tenun, bahan kain lurik ini berbahan dasar dari bom yang telah disekir oleh Mbah Parman tadi. Mbah Nanik (62 tahun) dan Mbah Mul (68 tahun), bekerja sebagai penenun lurik untuk menghidupi keluarganya. Mbah Mul (68 tahun) beliau hidup sebatang kara di Desa Kedulan, beliau dapat memenuhi kebutuhannya dengan bekerja sebagai penenun kain lurik.
Lurik yang dibuat dengan tenun, alat tradisional yang berbahan dasar kayu ini dihargai dengan nominal Rp. 13.500,00 per meternya. Memang terlihat sangat murah padahal kain lurik ini dibuat dengan tenaga manusia bukan tenaga mesin, meski begitu murah lurik tenun ini berhasil menjadi sumber ekonomi masyarakat Desa Kedulan. Dengan dijualnya lurik buatan alat tradisional dan tenaga manusia ini ke rumah produksi “Tarno Tex” warga dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Kain lurik tenun yang menyimpan banyak akan kekayaan budaya Indonesia, kini lambat laun telah meredup eksistensinya. Dengan adanya kemajuan teknologi yang memudahkan masyarakat untuk mencari informasi dan melihat adat istiadat budaya luar, dikhawatirkan akan mematikan kebudayaan kain lurik tenun ini. Walaupun begitu, masyarakat Desa Kedulan masih bisa mempertahankan dan melestarikan kain lurik tenun sampai saat ini. Terbukti dengan adanya produksi dari kain tenun lurik yang terletak di Desa Kedulan, Klaten, Jawa Tengah.
Nawa Ladika Efti Ansyahwati