Mengenal Toleransi dari Romansa Candi Prambanandan Candi Sewu

  • 2 mins read

Mengenal Toleransi dari Romansa Candi Prambanandan Candi Sewu

Indonesia memiliki salah satu peninggalan candi Hindu terbesar yaitu Candi Prambanan. Candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun sekitar pertengahan abad ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya, yaitu Raja Balitung Maha Sambu. Kisah Ramayana yang identik dengan candi Prambanan menjadi salah satu daya tarik bagi pengunjung, baik pengunjung dalam negeri maupun mancanegara.

Selain Candi Prambanan, terdapat Candi Sewu yang terletak di sebelah utara Candi Prambanan. Berbeda dengan Candi Prambanan, Candi Sewu merupakan candi Buddha dan dibangun pada abad ke-8 Masehi. Kata sewu yang digunakan dalam penamaan candi ini berkaitan dengan kisah Roro Jonggrang dan seribu candi. Sewu berarti seribu dalam bahasa Jawa. Meski demikian, jumlah candi yang ada dalam Candi Sewu hanya terdapat 249 candi sebab masih ada beberapa candi yang belum terekspose sehingga jumlahnya tidak mencapai seribu.

Kompleks candi ini telah mengalami perluasan wilayah pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra. Setelah dinasti Sanjaya berkuasa rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya. Adanya Candi Sewu yang bercorak Buddha berdampingan dengan Candi Prambanan yang bercorak Hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan adanya toleransi beragama.

Keberadaan Candi Sewu dan Candi Prambanan yang terdapat dalam satu kawasan dengan jarak yang tidak begitu jauh menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia telah menerapkan sikap toleransi beragama sejak dulu. Candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar, sedangkan Candi Sewu merupakan candi Budha dengan kisah yang kompleks di dalamnya. Keberadaan dua candi ini merupakan bukti keberhasilan Raja Rakai Pikatan dalam memperluas wilayah dan mengajarkan nilai-nilai toleransi kepada masyarakat saat itu sehingga tercipta keharmonisan dalam kehidupan.

Masyarakat Indonesia zaman dahulu telah mampu mendirikan tempat ibadah yang berbeda dan beribadah dengan keyakinan mereka masing-masing tanpa mengganggu umat beragama yang lainnya. Keaslian budaya dan sikap oleransi beragama masih terjaga hingga saat ini dibuktikan dengan adanya proses peribadatan yang sering dilaksanakan oleh umat beragama pada beberapa momen tertentu. Keaslian candi dan sikap toleransi yang terbentuk secara turun temurun menjadikan bukti nyata bahwa keabadian itu ada, turun temurun dari sebelumnya.

Muhammad Hanan Baihaqi

Share
Tweet
Pin

Discover More