Keberadaan masjid menjadi salah satu pilar bagi berdirinya Kasultanan Yogyakarta. Selain Masjid Gedhe, Kasultanan mempunyai Masjid Pathok Negara. Masjid Pathok Negara merupakan masjid milik Kasultanan Yogyakarta yang dibangun di wilayah Nagaragung. Selain memiliki fungsi religius sebagai tempat ibadah, Masjid Pathok Negara juga berfungsi sebagai tempat pertahanan rakyat. Masjid ini juga sering disebut sebagai masjid empat penjuru mata angin. Keempat Masjid Pathok Negara dibangun di masa Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Sri Sultan Hamengku Buwono I membangun Masjid Pathok Negara atas saran dari Kyai Muhammad Fakih. Kyai Muhammad Fakih menjelaskan bahwa sultan harus melantik pathok, yaitu orang-orang yang dapat mengajar dan menuntun akhlak para rakyatnya. Oleh karena itu, Sri Sultan Hamengku Buwono I melantik dan membuat pathok-pathok yang ditempatkan di Mlangi, Plosokuning, Babadan dan Dongkelan.
Masjid-masjid ini meliputi Masjid Jami’ An-nur di Mlangi (Barat), Masjid Jami’ Sulthoni di Plosokuning (Utara), Masjid Jami’ Ad-Darojat di Babadan (Timur), dan Masjid Nurul Huda di Dongkelan (Selatan).
Masjid Jami An-Nur di Mlangi merupakan salah satu masjid yang masih dijaga kelestariannya sampai sekarang. Masjid ini sudah mangalami banyak perubahan dimana perubahan ini dilakukan agar dapat menampung banyak jamaah. Tempat ini terletak di Dusun Mlangi, Kelurahan Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid ini diperkirakan dibangun pada tahun 1723 M sebagai bentuk penghormatan kepada Kyai Nur Iman atas jasanya melakukan siar agama di Mlangi. Saat ini masjid ini masih berfungsi dan sering digunakan untuk ziarah karena di belakang masjid ini terdapat pemakaman
Masjid kedua adalah Masjid Sulthoni di Plosokuning. Masjid ini merupakan masjid tertua yang ada di Yogyakarta, diperkirakan Masjid ini sudah berusia tiga abad. Arsitektur khas yang ada di masjid ini menandakan bahwa masjid ini sudah berusia sangat lama. Masjid ini memiliki bangunan khas berupa kolam yang mengelilingi masjid. Sekarang kolam ini kerap dijadikan tempat berenang untuk anak-anak yang tinggal disekitar masjid. Tempat ini beralamat di Jalan Plosokuning Raya 99, Minomartani, Ngaglik, Sleman. Walaupun zaman terus berkembang, masjid ini masih melakukan tradisi yang diturunkan dari Kraton Ngayogyakarta seperti sholawatan, saparan dan ruwahan. Masjid ini dibangun oleh Kyai Mursodo yang merupakan anak dari Kyai Nur Iman Mlangi.
Masjid ketiga adalah Masjid Jami Ad-Dorajat. Masjid ini merupakan salah satu dari ke empat masjid pathok negara yang di bangun kembali pada tahun 1964. Alasan dibangunnya kembali karena masjid ini pernah dihancurkan oleh Jepang. Jepang menghancurkan masjid ini karena wilayah dimana berdirinya masjid tersebut digunakan untuk membangun pangkalan udara. Karena dibangun kembali, arsitektur bangunan ini sedikit berbeda dengan masjid lainnya. Sampai saat ini masjid ini masih masih digunakan untuk beribadah, terlebih bekas kubah masjid yang dihancurkan oleh Jepang masih disimpan baik di dalam masjid. Selain itu terdapat banyak anak-anak yang sering bermain dan bersepeda di masjid ini
Masjid terakhir adalah Masjid Nurul Huda di Dongkelan. Masjid ini juga dibangun kembali karena pernah dibakar habis oleh pihak Belanda. Alasannya adalah masjid ini dicurigai sebagai tempat berkumpulnya pasukan Diponegoro. Masjid ini di rehab pada tanggal 6 Juni 1989 setelah mengalami 4 kali renovasi sehingga detail kecil seperti kolam di sekitaran masjid dihilangkan. Saat ini masjid ini masih kerap ramai pengunjung ziarah karena di belakang masjid terdapat pemakaman.
Namun dengan berkembangnya zaman, masjid tersebut berganti fungsi. Masjid Pathok Negara yang awalnya digunakan untuk pusat pendidikan, tempat upacara/kegiatan keagamaan, bagian dari sistem pertahanan dan sistem peradilan keagamaan yang disebut pernikahan, perceraian dan pembagian warisan kini berubah fungsi menjadi masjid biasa yang digunakan beribadah umat muslim. Namun karena merupakan Masjid Pathok Negara, masjid ini sering dikunjungi untuk sekadar berwisata dan berziarah.
Zahra Annisa