Luka yang tersembunyi dalam jiwa seringkali meninggalkan jejak yang dalam, mengurungnya dalam selubung ketakutan dan keraguan. Seperti bunga yang rapuh, ia membangun pertahanan yang bangkit dari kesedihan yang tak kunjung pergi untuk membatasi dari dunia luar yang dianggapnya sebagai bahaya. Akan tetapi yang tampak seperti pelindung, justru menjadi penjara yang mengasingkan hati yang terluka. Perlindungan itu datang dengan harga dan konsekuensi yang tinggi: kesendirian, keterasingan, dan penolakan terhadap kehangatan yang datang dari luar.
Ia ingin menjaga dirinya, tetapi apakah yang dilindungi itu masih bisa berkembang? Apakah perlindungan itu benar-benar melindungi? Ataukah, justru, ia semakin memperdalam luka, menambah luka yang belum sembuh, ataukah mungkin membekas lebih dalam? Dalam setiap pertahanan yang dibangun, akan ada ruang untuk penyembuhan yang tercipta tanpa sadar. Bahwa terkadang yang terluka adalah yang paling kuat, dan di dalam kerapuhan itu harus belajar untuk membuka diri, menerima dunia dengan segala durinya, hingga dapat tumbuh meski terikat oleh luka yang tak bisa sembuh.
