Perkembangan teknologi artificial intelligence (AI) pada beberapa tahun kebelakang ini ramai menjadi buah bibir di kalangan warganet di seluruh dunia. Bagaimana tidak, teknologi kecerdasan buatan yang dulunya masih terlihat “bodoh” di mata masyarakat, kini secara ajaib dapat menjadi penyihir yang dapat menciptakan sesuatu dari keniscayaan. Bagaimana bisa seorang mahasiswa dapat menyelesaikan berlembar-lembar makalah hanya dalam waktu 10 menit saja? Bagaimana bisa seseorang dapat menambahkan objek kawanan gajah lalu mengubahnya berada di dalam air pada foto pemandangan yang dijepretnya menggunakan kamera smartphone saja?
Itulah disrupsi yang ditawarkan oleh AI, tak hanya mahir dalam satu bidang saja tetapi hampir semuanya kini dapat berjalan dengan keajaiban AI bahkan pada bidang yang remeh temeh sekalipun. Namun, dari gegap gempita keajaiban AI ini ada satu hal yang tidak banyak orang singgung mengenai dampaknya, yakni bagaimana AI dapat memengaruhi dunia fotografi. Seperti pada bidang lainnya, fotografi tentu saja terkena cipratan magisnya AI yang mampu menciptakan karya-karya yang lebih spektakuler lagi. Tapi pertanyaannya, apakah mungkin “seniman” AI ini bisa menggantikan peran manusia dalam proses penciptaan karya sebuah fotografi?
Sejauh Mana Performa AI di Dunia Fotografi?
Jika kita tarik sedikit ke belakang pada masa awal kamera mulai populer digunakan, para pelukis juga merasakan keresahan dimana mereka takut ranah ekspresi mereka terenggut oleh eksistensi kamera ini. Namun, seiring berjalannya waktu kedua media ekspresi ini berjalan pada lajurnya masing-masing tanpa harus saling bertarung eksistensi. Sama halnya pada saat ini ketika AI sedang berada pada fase bersinarnya sehingga konon dapat mengancam keberadaan fotografer. Menarik untuk melihat bagaimana kiprah AI dalam dunia fotografi, setidaknya sampai tulisan ini dibuat.
Sebenarnya, kehadiran AI dalam kamera terutama pada kamera DSLR atau mirrorless, sudah jauh-jauh hari dapat kita jumpai fiturnya. Fitur auto-focus yang tersemat di dalam kamera merupakan salah satu perwujudan dari teknologi AI itu sendiri. Kamera dapat berpikir dengan cepat untuk menentukan objek mana yang akan menjadi highlight dan menentukan skema yang sesuai sehingga menghasilkan foto yang lebih matang. Sekalipun fitur ini ada pada kamera yang rilis pada 1 dekade yang lalu, dimana ketika pembicaraan tentang AI waktu itu masih terlihat seperti angan-angan saja.
Pada kamera keluaran terbaru, teknologi AI dapat menangkap focus dengan presisi pada objek yang bergerak cepat yang jika dilihat menggunakan mata manusia pun sulit menangkapnya. Hal tersebut dapat membantu para fotografer olahraga dan alam untuk menangkap momen yang lebih banyak. Selain itu, kematangan AI dalam menentukan nuansa (vibes) dari situasi yang ditangkap mampu menghasilkan color tone yang aesthetic sehingga dapat langsung dikonsumsi ke dalam media sosial.
Memang pada ranah perkembangan teknis kamera profesional ini tidak se-disruptif seperti pada perkembangan bidang AI lainnya. Para pabrikan memang memasak hal-hal detail untuk kebutuhan yang lebih profesional. Kejutan-kejutan teknologi AI pada dunia fotografi lebih banyak terjadi pada wilayah pascaproduksi-nya, dimana AI dapat menjadi pesulap yang manipulatif. Dalam artian, melalui software editing yang berbasis AI kita dapat merubah situasi dan persepsi dari foto tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Kuatnya Kuasa AI Pada Masa Pascaproduksi Fotografi
Seperti yang sedikit disinggung pada pembukaan tadi, di mana kita dapat sesuka hati menambahkan objek dalam foto dan memang sekuat itulah potensi dari AI ini untuk masa depan fotografi. Pada proses pascaproduksi ini, AI dapat membantu fotografer dalam retouch yang lebih smooth lagi, menghilangkan objek yang mengganggu, memberikan ornamen-ornamen yang menambah nuansa secara otomatis, dan masih banyak lainnya. Para pengembang aplikasi saat ini sedang berlomba-lomba untuk menciptakan variasi penerapan AI untuk menunjang kinerja pascaproduksi.
Adobe, perusahaan perangkat lunak ternama ini menjadi salah satu contender AI yang sempat fenomenal dengan meluncurkan fitur content-aware fill di Photoshop. Fitur yang memudahkan para fotografer untuk me-retouch foto mereka dengan menghilangkan beberapa objek yang tidak diperlukan. Terbaru, Adobe juga kembali menggemparkan jagat maya dengan meluncurkan fitur Adobe Firefly yang dimana kita tidak hanya sekadar dapat menghilangkan objek, namun juga dapat menambahkan atau memodifikasi objek tersebut.
Tools AI lainnya yang tak kalah menggemparkannya adalah tools yang dapat menciptakan gambar melalui perintah, seperti DALL-E dan Midjourney. Tools inilah yang menjadi salah satu faktor naiknya popularitas dari AI ini terlebih pada ranah editing foto. Hal itu juga turut menaikkan isu bahwa AI dalam waktu dekat akan menggantikan posisi manusia tidak hanya sebagai fotografer, tetapi juga pelukis dan pekerja seni lainnya. Bagaimana tidak, ilmu yang sudah dipelajari bertahun-tahun dan dikerjakan berhari-hari oleh manusia harus kalah dalam beberapa menit saja oleh AI.
Kembali ke ranah fotografi, kehadiran tools AI tersebut selayaknya dipandang sebagai kesempatan kita sebagai fotografer untuk menjadi batu loncatan dengan menyuguhkan mahakarya yang lebih memukau lagi. Dengan bantuan AI, kita dapat menyetir lebih jauh lagi arah visual foto misalnya dengan menggunakan generative fill, sehingga foto portrait bisa tampak lebih hidup, foto produk bisa tampak lebih menjual, dan foto pemandangan bisa tampak lebih dramatis lagi.
Kehadiran AI pada wilayah pascaproduksi ini tentu membuka era baru bagi fotografi, era dimana potret realitas yang berpadu dengan imajinasi. Foto di masa yang akan datang tak hanya pasif sekadar pembawa memori. Namun, akan secara aktif merangsang kalbu manusia dan bercerita dengan buaian-buaian imajinasi melalui perpaduan visual yang ciamik. Mungkin memang unsur fotografi itu sendiri akan berkurang secara proporsinya, tetapi kembali lagi kepada tujuan dari fotografi itu diperuntukan. Apakah itu untuk keperluan seni yang menjunjung tinggi keotentikan atau untuk tujuan lainnya? Perlu diingat kembali bahwa fotografi juga merupakan tools bagi pekerjaan manusia.
Adakah Dampak dalam Kehidupan Sehari-hari Mengenai AI pada Fotografi Ini?
Menurut penulis, ada salah satu kasus penggunaan AI pada fotografi ini yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Yaitu dengan hadirnya fitur AI pada kamera smartphone yang menawarkan beragam manfaat kepada penggunanya. Walaupun, kehadiran fitur AI ini sudah ada sebelum tren AI meledak seperti sekarang ini. Namun, fitur inilah yang mungkin banyak dilewatkan oleh masyarakat padahal dapat memberikan dampak langsung kepada mereka.
Sebagai pilihan instan masyarakat, kamera smartphone akan sangat manis jika dipadukan dengan AI ini. Pada perkembangan AI kamera smartphone saat ini, sudah lebih canggih dengan dapat menentukan skema dan situasi pada lingkungan yang akan dijepret dengan tepat, sehingga smartphone dapat menentukan pengaturan terbaik untuk foto tersebut. Termasuk ketika di malam hari, AI pada smartphone kini sudah dapat menghasilkan foto-foto yang ciamik walaupun pada kondisi yang sulit cahaya sekalipun.
Belum lagi berbicara proses memasak foto yang dilakukan oleh AI smartphone yang cepat dan langsung, dapat dikonsumsi untuk kebutuhan konten media sosial selayaknya fast food. Kemampuan dalam meracik foto pada segala kondisi inilah yang menjadi dampak paling signifikan dirasakan oleh masyarakat dengan hadirnya AI dalam fotografi ini. Meskipun pada smartphone tertentu, fitur AI ini masih menjadi gimmick marketing dari merek smartphone tersebut untuk memberikan kesan yang lebih premium. Namun, semakin ke sini perkembangan AI pada kamera smartphone sudah semakin merata pada setiap segmennya, sehingga lebih banyak membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan manfaatnya.
Lantas, Bagaimana Perkembangan AI untuk Fotografi di Masa yang Akan Datang?
Sebelum berbicara lebih jauh lagi, coba kita kembali kepada pertanyaan di awal tadi. Apakah mungkin “seniman” AI ini bisa menggantikan peran manusia dalam proses penciptaan karya sebuah fotografi? Tentu tidak ada yang bisa memberikan jawaban yang pasti dari pertanyaan tersebut, hanya waktu yang dapat menjawabnya. Terlepas dari itu, penting untuk ditanamkan pada pemikiran kita bahwa masih terlalu pagi untuk bercerita tentang masa senja fotografer oleh AI, kita sendiri masih punya siang yang panjang untuk mengulik AI sebagai teman.
Terkadang, kita selalu parno dengan kehadiran teknologi yang secara radikal merubah adat tatanan manusia tetapi, bukankah itu menjadi sebuah anugerah dari Tuhan dimana manusia diciptakan dengan dibekali ilmu survive yang bahkan dapat membentuk peradaban hingga saat ini? Seperti halnya kita sebagai fotografer yang harus selalu memutar otak untuk menentukan bagaimana pose model yang bagus, bagaimana setup yang digunakan agar terlihat hidup, dan lain sebagainya.
Justru, dengan kehadiran AI inilah dapat membuka celah baru dalam dunia fotografi untuk dapat menembus batasan-batasan kreativitas yang ada di imajinasi. Setiap perubahan tentu akan membawa plus-minusnya masing-masing. Namun, jika ditakar dengan melihat perkembangan saat ini rasanya akan lebih banyak manfaat yang didapatkan oleh sang fotografer. Secara kinerja akan semakin dimudahkan tetapi, produk yang dihasilkan semakin memiliki nilai jual yang tinggi, itulah prinsip yang dapat kita manfaatkan dari kehadiran AI ini.
Contoh penerapannya adalah dengan memanfaatkan “musuh” fotografer seperti tools dari DALL-E maupun Midjourney. Pada kebanyakan pemikiran, tools ini dianggap sebagai ancaman. Akan tetapi, kita dapat memanfaatkannya sebagai tools sketsa yang digunakan sebagai panduan dalam pemotretan. Dalam tools ini, kita dapat bereksperimen untuk membuat sketsa yang seliar-liarnya dan bahkan kita dapat mencari inspirasi dan referensi dari tools tersebut. Dengan kekuatan machine learning-nya dari jutaan database internet, tentu akan menjadi sweet spot yang menarik untuk fotografer coba.
Di sisi lain, dilihat dari perkembangan AI pada fotografi saat ini, kedepannya dua hal yang ditakutkan akan saling memangsa satu sama lain ini malah berjalan di koridornya masing-masing. Seperti yang sudah sempat disinggung di awal tentang sejarah awal kamera dengan para pelukis, menurut penulis karya AI ini tidak akan bisa disamakan dengan ranah fotografi itu sendiri. Karena dilihat dari proses, teknis, dan tujuan kedua kubu tersebut berbeda, dan memerlukan beberapa skenario apabila keduanya ingin ditabrakan.
Belum lagi jika kita berbicara secara definisi, dimana definisi sederhana dari fotografi itu merupakan proses melukis dengan menggunakan media cahaya. Tentu, secara teknis fotografi memerlukan cahaya yang cukup serta alat yang peka terhadap cahaya untuk menangkap cahaya yang kemudian ditransfer menjadi sebuah foto yang berisi suatu momen. Hal tersebut tentu sangat berbeda apabila dibandingkan dengan sebuah foto yang dihasilkan oleh DALL-E maupun Midjourney, dimana mereka secara teknis menggunakan perintah (prompt) untuk menangkap momen tersebut.
Berbeda kasus lagi apabila foto yang dihasilkan melalui skema fotografi, namun banyak mengalami perubahan di pascaproduksi-nya, sehingga persepsi yang ditimbulkan berbeda pada hasil akhirnya. Dari situ, apakah bisa dikatakan karya tersebut merupakan sebuah karya fotografi? Hal itu tentu saja masih dapat didiskusikan lebih lanjut lagi. Akan tetapi, menurut penulis walaupun fotografi memang membuka kesempatan untuk berkarya seluas-luasnya, di situ tetap terdapat keterbatasan yang membuatnya tetap menjadi sebuah produk fotografi.
Bukan batasan secara imajinasi, tetapi lebih kepada batasan teknis dari karya yang diciptakan. Dalam artian, secanggih-canggihnya kamera yang diciptakan oleh manusia, tentu kita tidak bisa membuat foto kawanan gajah di padang pasir atau di bawah air jika meminjam contoh seperti pada pembukaan tadi. Kita tidak bisa merubah keadaan objek tersebut secara signifikan melalui skema fotografi ini. Apa yang ditangkap pada momen itu, berarti itulah karya fotografi yang dapat kita hasilkan.
Walaupun masih memungkinkan untuk kita mengubah teknis cahaya dengan menyunting kecerahan, tone, highlight, dan sebagainya, namun hal tersebut hanya sebagai penguat foto bukan pengganti persepsi pesan dari foto tersebut. Oleh karena itu, dari batasan-batasan tersebut kita dapat menilai sendiri apakah karya tersebut bisa dikatakan sebagai karya fotografi atau tidak. Kembali lagi, kita berbicara mengenai sebuah seni yang semua penilaiannya tergantung dari individu itu sendiri dilihat secara teknis dan tujuan tadi.
Para pencari nafkah yang bergelut di dunia fotografi ini seharusnya tidak perlu cemas dengan kehadiran AI ini. Karena fotografi masih akan butuh sosok manusia yang mengendalikan kamera dan setup-nya. Sejauh ini, belum ada AI yang bisa mengarahkan pemotretan wedding di kondangan saudara dan teman. Sejelek-jeleknya pun, mungkin fotografer yang bermain di photo stock yang akan mulai bersaing dengan karya foto hasil olah dari AI yang menjadi ancamannya. Masih ada bidang-bidang fotografi lain yang dapat menjadi alternatifnya.
Semua definisi dan pemaparan tentang fotografi di atas belum tentu sepenuhnya benar karena ini adalah sebuah cabang seni yang semuanya dapat memiliki persepsinya masing-masing. Sekelas elit global pada ajang foto paling bergengsi di dunia, Sony World Photographer Awards 2023 sekalipun masih bisa tertipu dengan hasil karya pemenang yang dilombakan dan tentunya masih menjadi bahan perdebatan mengenai definisi dan aturan dari sebuah karya fotografi itu sendiri.
Penulis: Andika Nur Latif
Editor: Rachel Rodearni Purba