Sebagian besar masyarakat, terutama di Kota Yogyakarta tidaklah asing dengan kata angkringan. Ketika mendengar kata ini, yang terbayang adalah sebuah tempat makan khas Jawa yang menggunakan gerobak dorong atau gerobak pikul beratapkan terpal biru atau oranye dan terletak di pinggir jalan. Angkringan sendiri berasal dari kata dalam bahasa Jawa, yakni angkring, yang bermakna duduk santai dengan melipat satu kaki ke atas kursi. Dalam sebuah angkringan, biasanya menjual nasi bungkus (nasi kucing), lauk pauk, teh, jahe, dan kopi.
Angkringan pada awalnya dipelopori oleh seorang pendatang asal Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950an yang berjualan di dalam Stasiun Tugu dan dilanjutkan oleh putranya, Lik Man, sekitar tahun 1969 kemudian pindah ke Jalan Wongsodirjan dan sejak tahun 2000 dilanjutkan oleh Alex Sunarto, adik dari Lik Man. Angkringan Lik Man sehari-harinya buka dari pukul 14.00 hingga pukul 01.00 dini hari. Biasanya pada pukul 13.00 pegawai dari angkringan ini mulai bersiap-siap, dimulai dari menata lauk pauk hingga menggelar tikar di trotoar.
Makin banyaknya angkringan yang berada di sekitaran kawasan Tugu membuktikan bahwa angkringan memiliki daya tarik tersendiri meski sudah ada sejak jaman dahulu. Hal ini tentu berkaitan dengan tema pameran ini, Aksata, yang memiliki makna sesuatu/kegiatan yang sudah ada sejak jaman dahulu dan tetap berjalan hingga sekarang.
Antonius Bimo