Tumpukan sampah, bau tak sedap, dan genangan air lindi yang merembes ke jalanan kini menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga Yogyakarta. TPS di berbagai sudut kota tak lagi mampu menampung sampah masyarakat yang terus menumpuk. Kondisi ini diperparah dengan munculnya tempat pembuangan sampah liar di pinggir-pinggir jalan, seolah-olah hal tersebut menjadi solusi instan bagi warga yang bingung hendak membuang sampah mereka.
Sudah setahun lebih permasalahan sampah di Yogyakarta tak kunjung terselesaikan. Sejak ditutupnya TPA Piyungan secara permanen pada Juli 2023, tiga kabupaten/kota antara lain Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta dituntut untuk mengelola sampahnya secara mandiri. Para pemangku kebijakan pun telah menyatakan kesiapannya dalam mengelola sampah secara mandiri dengan fasilitas yang mereka gadang-gadang dapat menyelesaikan permasalahan ini.
Peran pihak terkait dalam menghadapi permasalahan ini memang sudah dilaksanakan mulai dari sosialisasi, kerjasama dengan pihak swasta, hingga pengadaan teknologi terkini untuk mengelola sampah. Selaras dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat juga harus belajar dan menciptakan budaya mengolah sampah mereka secara mandiri. Meskipun demikian, hingga saat ini nyatanya permasalahan ini belum dapat terselesaikan secara penuh.
Lantas, sampai kapan permasalahan sampah ini akan terus menjadi bayang-bayang bagi kota yang katanya berbudaya ini?
Akankah budaya mengelola secara mandiri dapat terwujud?









Denny Kristianto