Adanya globalisasi merubah seluruh aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari teknologi, pakaian, kendaraan, bahkan
mainan sekalipun. Kitiran, payungan, kepet, manukan, dan angkrek merupakan beberapa jenis mainan tradisional yang
dahulu sering dimainkan oleh anak-anak. Seiring perkembangannya mainan tradisional tersebut mulai hilang sebab
tidak ada yang menjaga dan melestarikannya karena digantikan oleh mainan modern berbahan dasar plastik yang lebih
menarik. Namun, hingga saat ini masih terdapat salah seorang yang menjaga kelestarian mainan tradisional itu. Dialah
Mbah Atemo Wiyono.
Atemo Wiyono, merupakan seorang pengrajin mainan tradisional anak dari Pedukuhan Pandes, Desa Panggungharjo,
Sewon, Bantul. Ia memulai membuat mainan tradisional sejak kecil karena tuntutan ekonomi saat itu. Alih-alih
mengenyam bangku sekolah, perempuan yang kerap dipanggil Mbah Atemo itu hanya menghabiskan waktu untuk
membantu ibunya membuat dan berjualan mainan tradisional semasa kecilnya. Demi mendapatkan uang lebih, dahulu
Mbah Atemo rela berjualan berkeliling pasar hanya dengan berjalan kaki. Ia biasanya berangkat berkeliling ke Pasar
Bantul, Pundong, Imogiri, Godean, hingga Kotagede mulai pukul 01.00 WIB. Setelah selesai berjualan, Mbah Atemo
biasanya pulang ketika sudah mulai petang dengan berjalan kaki juga karena pada zaman itu masih sangat sedikit
kendaraan umum. “Nggih bahanipun namung lungsuran saking kantor kaliyan toko, nek ngge werno niku tumbas teng
pasar”, ujar Mbah Atemo ketika menjelaskan bahan yang digunakannya adalah bahan bekas. Semua mainan itu dibuat
dengan tangan terampil Mbah Atemo sendiri tanpa bantuan siapapun. Mulai dari memotong, mewarnai, hingga
merangkai agar menjadi sebuah mainan tradisional yang utuh. Mainan yang dibuatnya juga sangat beragam seperti
kitiran, payungan, manukan, kepet, wayang kertas, dan angkrek yang dijual mulai harga Rp 5.000 saja. Tak setiap hari
dagangan miliknya laris, biasanya hanya ada satu dua orang yang mengambil setiap 3 atau 4 hari sekali untuk dijual
lagi. Terkadang, ia juga membuat mainan dalam jumlah banyak ketika ada pesanan dari TK, SD, dan acara pernikahan.
Sudah lebih dari puluhan tahun Mbah Atemo melestarikan warisan leluhur agar tetap ada. Kini di usia senjanya, yakni 84
tahun, kaki tuanya sudah tak sanggup untuk berjualan di pasar. Meskipun begitu, tangan keriputnya masih sangat lihai
dalam membuat sebuah karya yang indah sebagai penopang untuk menjalani kehidupannya. Mbah Atemo tidak ingin
merepotkan anak-anaknya meskipun tinggal di atas atap yang sama. Sang penjaga terakhir dolanan tradisional ini
tetap ingin terus melestarikan apa yang telah ia tekuni selama puluhan tahun.







Pheila Muna Priyatama